GARUT TIMES, JAKARTA – Perdebatan soal hukum memukul rebana di dalam masjid kembali mencuat di kalangan umat.
Sebagian masyarakat menilai hal itu tidak pantas dilakukan di rumah ibadah, sementara sebagian lain berpegang pada hadits Nabi Muhammad SAW yang justru memberi isyarat kebolehannya.
hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا - أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: «أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ، وَافْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ»
(HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Artinya: “Umumkanlah pernikahan ini, lakukanlah di masjid, dan (ramaikanlah) dengan memukul rebana.”
hadits tersebut menjadi dasar bagi sebagian ulama yang membolehkan memukul rebana di masjid, terutama dalam konteks pernikahan. Salah satunya dijelaskan oleh ulama besar mazhab Syafi’i, Ibnu Hajar Al-Haitami.
Dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra (juz 4, hlm. 356), Ibnu Hajar menulis:
وَفِيهِ إيمَاءٌ إِلَى جَوَازِ ضَرْبِ الدُّفِّ فِي الْمَسَاجِدِ لِأَجْلِ ذَلِكَ، فَعَلَى تَسْلِيمِهِ يُقَاسُ بِهِ غَيْرُهُ، وَأَمَّا نَقْلُ ذَلِكَ عَنِ السَّلَفِ فَقَدْ قَالَ الْوَلِيُّ أَبُو زُرْعَةَ فِي تَحْرِيرِهِ: صَحَّ عَنِ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ وَابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ، وَهُمَا سَيِّدَا الْمُتَأَخِّرِينَ عِلْمًا وَوَرَعًا.
Artinya: “Dalam hadits tersebut terdapat isyarat akan bolehnya memukul rebana di masjid untuk tujuan itu (pernikahan). Berdasarkan kebolehan itu, dapat diqiyaskan pula untuk hal-hal lain. Adapun riwayat dari kalangan salaf, telah sahih dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abd as-Salam dan Ibn Daqiq al-‘Id — keduanya merupakan pemuka ulama muta’akhkhirin dalam ilmu dan kewaraan.”
Namun, pandangan berbeda datang dari Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, pengarang kitab I’anatut Thalibin. Ia menilai, maksud dari hadits tersebut bukan berarti rebana dipukul di dalam masjid, melainkan di luar masjid.
Dalam kitab I’anatut Thalibin (juz 3, hlm. 316), beliau menulis:
(فَإِنْ قُلْتَ) الْمَسْجِدُ يُصَانُ عَنْ ضَرْبِ الدُّفِّ، فَكَيْفَ أَمَرَ بِهِ؟ (قُلْتُ) لَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّهُ يُضْرَبُ فِيهِ، بَلْ خَارِجَهُ، وَالْأَمْرُ فِيهِ إِنَّمَا هُوَ فِي مُجَرَّدِ الْعَقْدِ.
Artinya: “Jika engkau berkata: masjid itu harus dijaga dari perbuatan memukul rebana, maka bagaimana bisa beliau memerintahkan hal itu? Aku jawab: yang dimaksud bukanlah rebana dipukul di dalam masjid, melainkan di luarnya. Perintah itu hanya berkaitan dengan akad (nikah) semata.”
Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa hukum memukul rebana di dalam masjid termasuk persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat ulama).
Sebagian ulama memahami hadits tersebut sebagai bentuk kebolehan dengan batasan tertentu, sementara sebagian lain menafsirkannya sebagai larangan agar kemuliaan masjid tetap terjaga.
Meski demikian, para ulama sepakat bahwa masjid harus dijaga dari hal-hal yang dapat mengurangi kekhusyukan ibadah. Jika pun dilakukan kegiatan seperti akad nikah, sebaiknya tetap dijaga suasana tertib dan penuh penghormatan terhadap tempat suci.
Perbedaan ini menjadi pelajaran bahwa dalam Islam, ruang ijtihad dan perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, selama disertai niat baik dan adab ilmiah. Yang terpenting, semangat menjaga kesucian masjid serta menegakkan syiar kebaikan harus selalu diutamakan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Bolehkan Rebana Ditabuh di Dalam Masjid? Ini Penjelasan Ulama
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Ronny Wicaksono |