GARUT TIMES, CIAMIS – Setiap daerah di Jawa Barat memiliki makanan khas yang mencerminkan kearifan lokal dan kreativitas masyarakatnya. Salah satunya adalah Ewe Deet, camilan tradisional khas orang sunda terkenal bukan hanya karena rasanya yang manis dan gurih, tetapi juga karena namanya yang nyeleneh dan terkesan vulgar.
Ewe Deet adalah makanan tradisional yang menyimpan nilai budaya. Telinga orang Sunda akan pindah ke mode fokus saat mendengar nama camilan ini, yaitu ewe deet. Dua kata yang menjadi nama camilan sohor di wilayah Priangan Timur, seperti Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut ini memang punya konotasi.
Camilan ini terbuat dari daging kelapa yang tidak terlalu tua, kemudian disiram dengan gula aren yang direbus hingga mendekati proses pencetakan gula. Perpaduan kelapa dan gula aren menciptakan rasa manis, gurih, serta tekstur renyah yang khas.
Cara mengonsumsi Ewe Deet bisa dilakukan secara langsung, kelapa dan gula digigit. Gambarannya seperti makan gorengan dan cabai. Namun, ada juga kelapa yang disiram nira (air sadapan) aren atau kelapa yang dimasak untuk dijadikan gula.
Makanan ini biasanya dibuat sendiri karena jarang ada yang menjualnya. Seiring perkembangan zaman, ewe deet kini sudah jarang dikonsumsi warga. Bahkan, banyak warga yang tak tahu jika di kawasan Priangan Timur ada makanan bernama ewe deet.
Sebutan Ewe Deet, dalam bahasa Sunda, “ewe” merupakan istilah untuk berhubungan badan suami istri. Sementara deet merujuk kepada makna dangkal. Namun, meski 'dangkal', kegiatan suami-istri tersebut tetap mengandung unsur kenikmatan, seperti hal nikmatnya camilan ewe deet. Sehingga nama ini sering memancing tawa atau rasa penasaran, tak jarang jika diucapkan membuat orang yang mendengar atau mengucapkannya merasa canggung.
Sudut pandang dari pecinta kuliner lokal menilai, pentingnya melestarikan makanan tradisional seperti Ewe Deet, karena ia merepresentasikan budaya dan identitas masyarakat setempat.
"Dengan pengemasan yang tepat, Ewe Deet berpotensi dipasarkan sebagai camilan unik yang bisa bersaing dengan produk modern," kata Dani (37), seorang pegiat sekaligus pecinta kuliner lokal warga Desa Imbangara Raya, Kabupaten Ciamis, kepada Times Indonesia, Sabtu, (22/11/2025).
Menurutnya, jika dikelola dengan baik, Ewe Deet bukan hanya menjadi camilan nostalgia, tetapi juga penggerak ekonomi kreatif di tingkat lokal.
"Salahsatu cara dengan promosi melalui festival kuliner, media sosial, hingga paket wisata budaya dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang makanan ini," pungkasnya. (*)
| Pewarta | : Adis Cahyana |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |